BAB I
KAJIAN KONSEP
A. Pengertian
1. Ruptur uteri adalah robekan di
dinding uterus, dapat terjadi selama periode ante natal saat induksi, selama
persalinan dan kelahiran bahkan selama stadium ke tiga persalinan(Chapman,
2006;h.288).
2. Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan rongga
peritonium (komplet) atau mungkin di pisahkan darinya oleh peritoneum viseralis
yang menutupi uterus oleh ligamentum latum (inkomplit) (Cunningham,2005;h.217)
B. Insiden
Ruptur uteri di negara berkembang masih jauh lebih tinggi di bandingkan dengan
di Negara maju. Angka kejadian rupture uteri di Negara maju dilaporkan juga
semakin menurun. Sebagai contoh beberapa tahun yang lalu dari salah satu penelitian di negara maju di
laporkan kejadian rupture uteri dari 1 dalam 1.280 persalinan (1931-1950)
menjadi 1 dalam 2.250 persalinan (1973-1983). Dalam tahun 1996 kejadiannya
menjadi dalam 1 dalam 15.000 persalinan. Dalam masa yang hamper bersamaan angka
tersebut untuk berbagai tempat di Indonesia dilaporkan berkisar 1 dalam 294
persalinan sampai 1 dalam 93 persalinan.
Kedaruratan serius pada rupture uteri terjadi kurang dari 1% wanita dengan
parut uterus dan potensial mengancam jiwa baik bagi ibu maupun bayi. Separuh
dari semua kasus terjadi pada ibu tanpa jaringan parut uterus, terutama pada ibu multipara.
C. Tanda dan
gejala
1. Gejala
mengancam
a. Lingkaran retraksi patologis/lingkaran Bandl yang tinggi, mendekati pusat
dan naik uterus.
b.
Kontraksi
rahim kuat dan terus-menerus.
c.
Penderita
gelisah, nyeri di perut bagian bawah, juga di luar his.
d. Pada palpasi segmen bawah rahim terasa nyeri (di atas simpisis).
e. Ligamentum rotundum tegang, juga di luar his.
f. Bunyi jantung anak biasanya tidak ada atau tidak baik karena anak mengalami
hipoksia, yang disebabkan kontraksi dan retraksi rahim yang berlebihan.
g. Air kencing mengandung darah (karena kandung kencing teregang atau
tertekan).
2.
Tanda dan gejala lanjutan
a. Menurut (Varney,2001;h.243-244)
Dapat terjadi dramatis atau tenang.
1) Dramatis
a. Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi hebat memuncak.
b. Penghentian kontraksi uterus
disertai hilangnya rasa nyeri.
c. Perdarahan vagina (dalam jumlah sedikit atau hemoragi).
d. Tanda dan gejala syok : denyut nadi meningkat (cepat dan terus menerus):
tekanan darah menurun : pucat, dingin,kulit berkeringat,gelisah, atau adanya
perasaaan bahwa akan segera menjelang ajal atau meninggal, sesak (napas
pendek), ketidakberdayaan, dan gangguan penglihatan
e. Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan terdahulu.
f. Bagian presentasi dapat di gerakkan di atas rongga panggul
g. Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun menjadi tidak ada
gerakan dan Denyut Jantung Janin sama sekali tidak terdengar atau masih dapat
di dengar.
h. Lingkar uterus dan kepadatannya (kontraksi) dapat di rasakan di samping
janin(janin seperti berada diluar uterus).
2) Tenang
a. Kemungkinan menjadi muntah.
b. Nyeri tekan meningkat di seluruh abdomen.
c. Nyeri berat pada suprapubis.
d. Kontraksi uterus hipotonik.
e. Perkembangan persalinan menurun.
f.
Perasaan
ingin pingsan.
g.
Hematuri
(kadang-kadang)
h.
Perdarahan
pervagina (kadang-kadang)
i.
Tanda-tanda
syok progresif di temukan dalam hilangnya darah disertai denyut nadi yang cepat
dan pucat.
j.
Kontraksi
dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik;atau kontraksi tidak dapat
dirasakan.
k.
DJJ mungkin
akan hilang.
b. Menurut
(Chapman,2006;h.290)
1) Nyeri
a.
Nyeri uterus
atau jaringan parut mendadak
b.
Perasaan
“ingin melahirkan”
c.
Nyeri
abdomen bagian bawah bisa muncul bersama kontraksi, atau nyeri konstan yang
tidak hilang.
d.
Ibu merasa
bahwa uterusnya sangat nyeri saat di sentuh atau di raba.
2) Kontraksi uterus
a.
Uterus solid
atau tonik
b.
Kontraksi
dapat berkurang atau bahkan berhenti.
3) Denyut Jantung Janin
Perubahan Denyut Jantung Janin abnormal dapat terjadi seperti deselarasi
memanjang atau variable yang biasanya memburuk menjadi bradikardia serius.
4) Syok
a.
Dapat
terjadi perubahan tanda vital
a.
Takikardia
b.
Tekanan
darah rendah
c.
Sesak napas,
respirasi, > 24x/menit
b. Kemungkinan ibu :
a.
Tampak
dingin dan lembap
b.
Tampak
gelisah,agitasi, atau menarik diri.
c.
Berkata
bahwa ia takut dan ada sesuatu yang tidak beres
d.
Muntah.
5) Perdarahan
a.
Perdarahan
kadang keluar dari vagina sebagai cairan amnion bercampur darah atau perdarahan
segar.
b.
Kadang
seperti setelah bayi lahir, fundus uteri segera meninggi karena terisi darah.
D. Patofisiologi
Pada saat
his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding korpus uteri atau
SAR menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya
tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah dan ke dalam SBR.
SBR menjadi lebih lebar karena dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik
ke atas oleh kontraksi SAR yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran
retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian
terbawah janin tidak dapat terdorong karena sesuatu sebab yang menahannya
(misalnya panggul sempit atau kepala janin besar) maka volume korpus yang
tambah mengecil pada saat his harus diimbangi oleh perluasan SBR ke atas.
Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologi
semakin (physiologic retraction
ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologi menjadi
patologi (pathologic retraction ring)
lingkaran patologik ini di sebut lingkaran Bandl (ring van Bandl). SBR
terus menerus tertarik ke arah proksimal, tetapi tertahan oleh serviks dan his
berlangsung kuat terus menerus tetapi bagin terbawah janin tidak kunjung turun
ke bawah melalui jalan lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin meninggi
dan SBR semakin tertarik ke atas sembari dindingnya sangat tipis hanya beberapa
milimeter saja lagi. Ini menandakan
telah terjadi ruptur imminens dan rahim yang terancam robek pada saat his
berikut berlangsung dindinng SBR akan robek spontan pada tempat yang tertipis
dan terjadilah perdarahan. Jumlah perdarahan tergantung pada luas robekan yang
terjadi dan pembuluh darah yang terputus
E.
Jenis
1.
Berdasarkan
lapisan dinding rahim
a.
Ruptur uteri
inkomplit
Keadaan robekan pada rahim dimana
terjadi lapisan dimana lapisan serosa atau perimetrium masih utuh.
b.
Ruptur uteri
komplit
Keadaan robekan pada rahim dimana
terjadi pada ketiga lapisan dinding rahim dan telah terjadi hubungan langsung
antara rongga amnion dan rongga peritoneum
2.
Berdasarkan
penyebab terjadinya
a.
Ruptur uteri
spontan
Keadaan robekan pada rahim karena
kekuatan his semata.
b.
Ruptur uteri
violenta
Keadaan robekan pada rahim yang di
sebabkan ada manipulasi tenaga tambahan lain seperti induksi, atau stimulasi
partus dengan oksitosin atau yang sejenis atau dorongan yang kuat pada fundus
dalam persalinan.
c.
Ruptur uteri
traumatika
Keadaan robekan pada rahim yang di
sebabkan oleh trauma pada abdomen seperti kekerasan dalam rumah tangga dan
kecelakaan lalu lintas.
F.
Komplikasi
1.
Gawat janin
2.
Syok
hipovolemik
Terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera mendapat infus cairan
kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu cepat digantikan dengan
tranfusi darah.
3.
Sepsis
Infeksi berat umumnya terjadi pada
pasien kiriman dimana ruptur uteri telah terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit
dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang.
Jika dalam keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi
antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang
luas dan menjadi sepsis pasca bedah.
4.
Kecacatan
dan morbiditas.
a.
Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus
belum punya anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan
mendalam.
b.
Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah
keluarga merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.
G. Etiologi
1.
Rupture uterus spontan (Fraser dab
Cooper,2009;h.593)
a.
Paritas
tinggi
b.
Penggunaan
oksitosin yang tidak tepat, terutama pada ibu paritas tinggi
c.
Pengunaan
prostaglandin untuk menginduksi persalinan , pada ibu yang memiliki eskar.
d.
Persalinan
macet; rupture uteri terjadi akibat penipisan yang berlebihan pada segmen bawah
uterus.
e.
Persalinan
terabaikan, dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya.
f.
Perluasan
laserasi serviks yang berat ke atas menuju segmen bawah uterus –hal ini dapat
terjadi akibat trauma selama pelahiran dan tindakan.
g.
Trauma
akibat cedera ledakan atau kecelakaan.
h.
Perforasi
uterus non-hamil , mengakibatkan rupture uteri pada kehamilan
berikutnya;perforasi dan rupture terjadi pada segmen atas uterus.
i.
Rupture
uterin antenatal dengan riwayat seksio sesarea klasik sebelumnya.
H. Penanganan
Ditinjau
dari patofisiologi ruptur uteri apakah terjadi dalam masa kehamilan atau
persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh atau pada rahim yang cacat,
dsb. Tinjauan tersebut bisa mempengaruhi pilihan operasi, apakah dilakukan
histerektomi atau histerorafia. Tinjauan tersebut terdiri dari bebagai aspek,
yaitu :
1. Aspek
anatomi
Berdasarkan
lapisan dinding rahim yang terkena ruptur uteri (ruptur uteri inkomplit dan
komplit).
2. Aspek sebab
Berdasarkan
penyebab terjadinya robekan pada rahim (ruptur uteri spontan, ruptur uteri
violenta, ruptur uteri traumatika).
3. Aspek
keutuhan rahim
Ruptur uteri
dapat terjadi pada rahim yang masih utuh, tetapi bisa terjadi pada uterus yang
cacat misalnya pada parut bekas bedah sesar atau parut jahitan ruptur uteri
yang pernah terjadi sebelumnya (histerorafia), miomektomi yang dalam sampai ke
rongga rahim, akibat kerokan yang terlalu dalam, reaksi kornu atau bagian
interstisial dari rahim, metroplasti, rahim yang rapuh akibat tealh banyak
meregang misalnya pada grandemultipara, pernah hidramnion, hamil ganda, uterus
yang kurang berkembang kemudian menjadi hamil.
4. Aspek waktu
Yang
dimaksud adalah dalam masa hamil atau pada waktu bersalin. Ruptur uteri dapat
terjadi dalam masa kehamilan misalnya karena trauma atau pada rahim yang cacat,
sering pada bekas bedah sesar klasik. Kebanyakan ruptur terjadi dalam masa
persalinan kala I dan kala II dan pada partus percobaan bekas seksio sesarea,
terlebih pada kasus yang hisnya diperkuat dengan oksitosin atau prostaglandin
dan yang sejenisnya.
5. Aspek sifat
Rahim robek
bisa tanpa menimbulkan gejala yang jelas (silent)
seperi pada parut bedah sesar klasik dalam masa hamil tua. Parut itu merekah
sedikit demi sedikit (dehiscence) dan
pada akhirnya robek tanpa menimbulkan perdarahan yang banyak dan rasa nyeri
yang tegas.sebaliknya, kebanyakan ruptur uteri terjadi dalam waktu yang cepat
fdengan tanda-tanda serta gejala-gejala yang jelas (overt) dan akut, misalnya ruptur uteri yang terjadi dalam kala I
dan kala II akibat dorongan atau picuan oksitosin. Kantong kehamilan ikut robek
dan janin terdorong masuk ke dalam rongga peritoneum. Terjadi perdarahan
internal yang banyak dan perempuan besalin tersebut merasa sangat nyeri smapi
syok.
6. Aspek
paritas
Ruptur uteri dapat terjadi pada
perempuan yang baru pertama kali hamil (nulipara) sehingga sedapat mungkin
diusahakan histerorafia apabila lukanya rata dan tidak da infeksi. Terhadap
ruptur uteri pada multipara pada umumnya lebih baik dilakukan histerektomi atau
jika keadaan umumnya jelek dan luka robekan pada uterus tidak luas dan tidak
compang-camping, robekan pada uterus dijahit kembali (histerorafia) dilanjutkan
dengan tubektomi.
7. Aspek
gradasi
Kecuali
akibat kecelakan, ruptur uteri tidak terjadi mendadak. Peristiwa robekan yang
yang umumnya terjadi pada segmen bawah rahim didahului oleh his yang kuat tanpa
kemajuan dalam persalinan sehingga batas
antara korpus dan SBR yaitu lingkaran retraksi yang fisiologik naik bertambah
tinggi menjadi lingkaran bandl yang patologik, sementara ibu yang melahirkan
itu sangat merasa cemas dan ketakutan oleh karena menahan nyeri his yang kuat.
Pada saat ini penderita berada dalam stadium ruptur uteri imminens (membakat).
Apabila keadaan yang demikian berlanjut dan tidak terjadi atonia uteri
sekunder, maka pada gilirannya dinding SBR yang sudah sangat tipis itu robek.
Peristiwa ini disebut ruptur uteri spontan.
Dari
beberapa tinjauan diatas, maka penatalaksanaan pada ruptur uteri adalah sebagai
berikut :
1.
Perbaiki
kehilangan darah dengan pemberian infus Intravena cairan (NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat) sebelum pembedahan.
2.
Siapkan
untuk tranfusi darah
3.
Lakukan
seksio sesarea, segera lahirkan bayi dan
lahirkan plasenta segera setelah kondisi ibu stabil.
4.
Jika uterus
dapat diperbaiki dengan resiko operasi lebih rendah daripada resiko pada
histerektomi dan ujung ruptur uterus tidak nekrosis lakukan histerorafia. Tindakan ini akan mengurangi waktu dan
kehilangan darah saat histerektomi.
5.
Lakukan
perbaikan robekan pada dinding uterus (histerorafia) dengan langkah sebagai
berikut :
a.
Kaji ulang prinsip pembedahan
b.
Berikan antibiotik dosis tunggal ( ampisilin 2 G I.V,
sefazolin 1 gI.V)
c.
Buka perut :
a.
Lakukan insisi vertikal pada line alba dari umbilikus
sampai pubis.
b.
Lakukan insisi vertikal2-3 cm pada fasia, lanjutkan
insisi keatas dan kebawah dengan gunting
c.
Pisahkan muskulus rektus abdominis kiri
d.
Buka peritoneum dekat umbilikus dengan tangan, jaga
agar jangan melukai kandung kemih.
e.
Periksa rongga abdomen dan robekan uterus dan
keluarkan darah beku.
f.
Pasang rektaktor kandung kemih.
b. Lahirkan
bayi dan plasenta
c. Berikan
oksitosin 10 IU dalam 500 ml cairan infus (NaCl atau Ringer Laktat) :
a.
Mulai 60 tetes per menit sampai uterus berkontraksi
b.
Turunkan menjadi 20 tetes per menit setelah kontraksi
uterus baik.
d. Angkat
uterus untuk melihat seluruh luka uterus
e. Periksa
bagian depan dan belakang uterus
f. Klem
perdarahan dengan ring forceps.
g. Pisahkan
kandung kemih dari segmen bawah rahim secara tumpul atau tajam.
h. Lakukan
penjahitan robekan uterus.
i.
Jika uterus tidak dapat diperbaiki lakukan
histerektomi.
Pencegahan ruptur uteri
Dalam
menghadapi masalah ruptur uteri semboyan “prevention
is better than cure” sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap
pengelola persalinan dimanapun persalinan tersebut berlangsung.
Banyak kiranya ruptur uteri yang
seharusnya tidak perlu terjadi kalau sekiranya ada pengertian dari para ibu,
masyarakat dan klinisi, karena sebelumnya dapat kita ambil langkah-langkah
preventif. Maka, sangatlah penting arti perawatan antenatal (prenatal).
1 Panggul sempit atau CPD
Anjurkan bersalin di rumah sakit.
Lakukan pemeriksaan yang teliti misalnya kalau kepala belum turun lakukan
periksa dalam dan evaluasi selanjutnya dengan pelvimetri. Bila panggul sempit
(CV 8 cm), lakukan segera seksio sesarea primer saat inpartu.
2. Malposisi
Kepala
Coba lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tak
berhasil, pikirkan untuk melakukan seksio sesarea primer saat inpartu.
3. Malpresentasi
Letak lintang atau presentasi bahu,
maupun letak bokong, presentasi rangkap.
4. Hidrosefalus
5. Rigid cervix
6. Tetania uteri
7. Tumor jalan lahir
8. Grandemultipara +
abdomen pendulum
9. Pada bekas seksio
sesarea
Beberapa sarjana masih berpegang
pada diktum : Once a Caesarean always a Caesarean, tetapi
pendapat kita disini adalah Once a Caesarean not necessarily a
Caesarean, kecuali pada panggul yang sempit. Hal ini disebut Repeat
Caesarean Section. Pada keadaan dimana seksio yang lalu dilakukan korporal
pasien harus bersalin dirumah sakit dengan observasi yang ketat dan cermat
mengingat besarnya kemungkinan terjadi ruptur spontan. Kalau perlu lakukan
segera repeat c section. Pasien seksio sesaria dengan insisi SBR
dibandingkan dengan korporal menurut statistik kemungkinan terjadinya ruptur
relatif kecil, Namun demikian partus harus dilakukan di RS dan kalau kepala
sudah turun lakukan ekstraksi forsep.
10.
Uterus cacat karena miomektomi, kuretase, manual uri, maka dianjurkan bersalin
di RS dengan pengawasan yang teliti.
11.
Ruptur uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara lege
artis, jangan melakukan tindakan kristaller yang berlebihan, bidan dianjurkan
mempertimbangkan pemberian oksitocin
sebelum janin lahir, kepada dukun diberikan penataran supaya waktu memimpin persalinan jangan mendorong-dorong, karena dapat menimbulkan
ruptura uteri traumatika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar